Sabtu, 12 April 2014

3 UUD Konstitusi Republik Indonesia Latar Belakang dan Implementasi

3 Konstitusi RI Latar Belakang dan Implementasi
A.    UUD 1945
Negara Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945 beserta Tatahukum dan Tatanegaranya, walaupun sebagian peraturan-peraturan dan ketetapan-ketetapan dari Tatahukum yang sebelumnya masih berlaku terus, tetapi sudah barang tentu segala sesuatunya masih jauh dari kata sempurna.Bentuk-bentuk ketatanegaraan yang lazimnya diatur didalam Undang-Undang Dasar, alat-alat perlengkapan negara yang penting-penting, daerah negara serta warganegaranya, kesemuanya formal masih belum lagi jelas, walaupun belum kesempurnaannya ini tidaklah mengurangi hakikat berdirinya suatu negara. [1]
Maka dengan demikian mari kita lihat proses pembentukan UUD 1945 dari latar belakang dan impementasinya serta perubahan-perubahan konstitusi yang berlaku di Indonesia ini. Mari kita lihat diawal persiapan kemerdekaan Republik Indonesia.
Persiapan penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 sudah dimulai sejak zaman penjajahan Jepang, yaitu di dalam sidang-sidang Badan Penyelidikan. Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (selanjutnya, disebut Badan Penyelidikan dibentuk oleh Pemerintah Jepang ketika Jepang mendekati kekalahannya melawan Sekutu dalam Perang Dunia II). Pembentukan Badan Penyelidik juga merupakan realisasi janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia di kemudian hari.
Badan penyelidikan didirikan secara resmi pada tanggal 29 April 1945 tetapi pelantikannya baru dilakukan pada tanggal 28 Mei 1945. Adapun yang menjabat ialah,  Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat selaku Ketua, R.P. Suroso (merangkap Kepala Tata Usaha) selaku Ketua Muda dan 60 orang anggota dibawahnya. Badan Penyelidik ini mengadakan masa sidang dua kali, yaitu :
1.      Masa sidang pertama pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945
2.      Masa sidang kedua pada tanggal 10-16 Juli 1945
            Dalam sidang pertama dibicarakan dasar negara dan rancangan Undang-Undang Dasar saja.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 beberapa orang anggota PPKI mengadakan rapat di rumah Laksamana Muda Jepang Maeda, Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta. Selain anggota PPKI, hadir pula beberapa orang angkatan muda dan golongan tua. Rapat yang berakhir pukul 04.00 pagi dengan tersusunnya teks Proklamasi. Teks Proklamasi tersebut ditandatangani oleh Soekarno dan Moh.Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Pada tanggal 17 Agustus, hari Jumat Legi, pukul 10.00, bertempat di Pegangsaan Timur 56, Jakarta, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Yang membacakan proklamasi itu adalah Ir. Soekarno sendiri. Setelah proklamasi itu dibacakan, Sang Merah Putih dikibarkan dengan diiringi lagu Indonesia Raya.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan sidang dan diputuskanlah hal-hal berikut :
1.      Menetapkan dan mengesahkan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
2.      Menetapkan dan megesahkan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang bahan-bahannya hampir seluruhnya diambil dari rancangan Undang-Undang Dasar.[2]
Sejak diberlakukannya UUD 1945 tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945, mengindikasikan dilaksanakannya pemerintahan berdasarkan UUD tersebut. Sistem pemerintahan yang diterapkan adalah sistem pemerintahan presidensial, yang berarti bahwa kedudukan presiden tidak hanya sebagai kepala negara, melainkan juga sebagai kepala pemerintahan. Namun, UUD 1945 belum bisa diterapkan dengan baik karena saat itu merupakan masa peralihan pascapenjajahan.
            Pada tanggal 16 Oktober 1945, dilaksanakan Kongres Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Malang dan Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta mengeluarkan maklumat No. X yang intinya memberikan wewenang bagi KNIP untuk membuat Undang-Undang dan GBHN. Kemudian melalui makumat pemerintah tanggal 14 November 1945 dibentuk kabinet parlementer pertama yang dipimpin Sultan Syahril sebagai perdana menteri, dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada KNIP sebagai pengganti MPR/DPR. Kemudian, sistem pemerintahan beralih menjadi sistem parlementer. UUD 1945 tidak mengalami perubahan secara tekstual sampai pemerintahan berlangsung hingga tanggal 27 Desember 1949.[3]

B.     Konstitusi RIS 1949
Pada tanggal 27 Desember 1949 belanda mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia Serikat dan saat itu mulailah berlaku Konstitusi RIS. Dengan berlakunya Konstitusi RIS untuk wilayah RIS maka UUD 1945 yang semulanya berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, menjadi berlaku hanya dalam wilayah RI sebagai sebuah negara bagian RIS.
Konstitusi RIS adalah sebuah Konstitusi sementara, karena menurut pasal 186 Konstitusi RIS bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi RIS yang akan menggantikan Konstitusi sementara ini.  Seperti yang telah dikemukakan, permusyawaratan sekitar Konstitusi  RIS ini telah dimulai semenjak Konferensi Antar Indonesia (Wakil-wakil RI dan PPF (BFO), baik di Yogyakarta (19 – 22 Juni 1949) maupun di Jakarta (31 Juli – 2 Agustus 1949) dan dilanjutkan di Belanda selama berlangsung KMB (Konferensi Meja Bundar). Rancangan Konstitusi RIS ini digarap oleh wakil dari RI dan daerah-daerah di Kota Scheveningen pada tanggal 29 Oktober 1949. Kemudian rangcangan ini di sahkan oleh badan-badan perwakilan rakyat dan pemerintah daerah-daerah  bagian masing-masing Indonesia. Pada tanggal 14 Desember 1949 terjadilah penandatanganan Piagam Konstitusi RIS oleh Pemerintah-pemerintah masing-masing. sesuai dengan namanya Konstitusi RIS ini adalah sebuah Konstitusi yang berlandaskan federalismus.[4]
Terbentuklah negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Negara RIS terdiri dari daerah negara dan satuan kenegaraan yang tegak sendiri.
1.      Daerah negara adalah negara bagian, yaitu negara Republik Indonesia, negara Indonesia Timur, negara Pasundan, Negara Jawa Timur, negara Madura, negara Sumatera Selatan, dan negara Sumatera Timur.
2.      Satuan kenegaraan yang tegak sendiri, yaitu Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
    Pada masa konstitusi RIS ini, sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan parlementer tidak mutlak atau disebut quasi parlementer.
Adapun pokok-pokok sistem pemerintahan masa konstitusi RIS adalah sebagai berikut.
1.      Presiden dengan kuasa dari perwakilan negara bagian menunjuk tiga pembentuk kabinet (pasal 74 ayat (1)).
2.      Presiden mangkat salah seorang dari pembentuk kabinet tersebut sebagai perdana menteri (pasal 74 ayat (3)).
3.      Presiden juga membentuk kabinet atau dewan menteri sesuai anjuran pembentuk kabinet (pasal 74 ayat (3)).
4.      Menteri-menteri (dewan menteri) dalam bersidang dipimpin oleh perdana menteri (pasal 76 ayat (1)). Perdana menterijuga melakukan tugas keseharian presiden jika presiden berhalangan.
5.      Presiden bersama menteri merupakan pemeritah. Presiden merupakan kepala pemerintahan (pasal 68 ayat (1)).
6.      Presiden juga berkedudukan sebagai kepala negara yang tidak dapat digaggu gugat (pasal 69 ayat (1) dan pasal 118 ayat (1)).
7.      Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik secara sendiri atau bersama-sama kepada DPR (pasal 118 ayat (2)).
8.      Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat memaksa kabinet atau menteri meletakkan jabatannya (pasal 122).[5]
             Karena negara RIS bukanlah cita-cita bangsa Indonesia, maka pemerintahan ini pun berlangsung tidak lama dan muncul tuntutan untuk kembali ke negara kesatuan. Negara-negara bagian yang tergabung dalam RIS satu per satu menggabungkan diri ke negara RI. Akibatnya negara federal RIS  hanya tinggal tiga negara bagian, yaitu negara Republik Indonesia, negara Indonesia Timur, dan negara Sumatera Timur.           
             Kemudian, ketiga negara bagian tersebut bermusyawarah untuk merundingkan kembalinya ke NKRI yang telah diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945. Pada tanggal 15 Agustus 1950, ditetapkan UUDS  yang merupakan perubahan dari konstitusi RIS. Mengenai perubahan konstitusi RIS menjadi UUDS tertuang dalam UU no. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara RI menjadi UUDS RI. UUD ini lebih dikenal dengan UUDS 1950.  Dengan demikian, Indonesia menjalankan pemerintahan yang baru.[6]


C.    UUDS 1950
Indonesia semenjak Proklamasi Kemerdekaan menghendaki suatu negara kesatuan yang melindungi dan meliputi segenap bangsa secara keseluruhan. Pembentukan RIS tetaplah dipandang sebagai hasil politik Belanda semata-mata untuk memecah-belah persatuan bangsa. Itulah sebabnya segera sesudah pengakuan kedaulatan, dimana-mana di daerah-daerah bagian timbul pergolakan-pergolakan dan pernyataan-pernyataan yang spontan dari rakyat untuk kembali ke negara kesatuan dengan jalan menggabungkan diri kepada RI (Negara Bagian).n dengan UU Federal. Terdesak oleh pergolakan-pergolakan yang semakin menghebat di daerah-daerah untuk menggabungkan diri kepada RI maka Pemerintah RIS akhirnya menetapkan UU Darurat No. 11 tanggal 8 Maret 1950, LN 1950/16 tentang cara perubahan susunan kenegaraan wilayah RIS. Selain ditentukan melalui plebisit atau Pemilihan Umum UU Darurat ini memungkinkan pula perubahan itu melalui prosedur yang sumir (dipersingkat).[7]
Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950.[8]
Meskipun ditetapkan tanggal 15 Agustus 1950, UUDS 1950 ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1950. Sistem pemerintahan di Indonesia pun mengalami perubahan. Sistem pemerintahan yang dijalankan adalah sistem parlementer, dengan bentuk negara kembali ke kesatuan. Kabinet dipimpin oleh perdana menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen. Kemudian muncullah pergantian Perdana Menteri selama 7 kali dan hal tersebut sangat mempengaruhi perpolitikan di Indonesia.
            Pokok-pokok sistem pemerintahan masa UUDS 1950 adalah sebagai berikut :
1.      Presiden berkedudukan sebagai kepala negara yang dibantu oleh seorang wakil presiden (pasal 45 ayat (1) dan (2)).
2.      Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat (pasal 83 ayat (1)).
3.      Presiden menunjuk seseorang atau beberapa orang sebagai pembentuk kabinet. Atas anjuran pembentuk kabinet, presiden mengangkat seorang perdana menteri dan mangangkat menteri-menteri yang lain (pasal 51 ayat (1) dan (2)).
4.      Perdana menteri memimpin kabinet (dewan menteri).
5.      Menteri-menteri, baik secara sendiri maupun bersama-sama bertanggungjawab atas kebijakan pemerintah kepada DPR (pasal 83 ayat (2)).
6.      Presiden berhak membubarkan DPR (pasal 84 ayat (1)).
Di dalam UUDS tidak terdapat larangan untuk mengubah karakteristik tertentu yang menunjukkan ciri khusus dari pada bangsa Indonesia. Itu lah sebabnya pada waktu sidang konstituante untuk membuat UUD tetap ada pihak-pihak yang ingin mengubah atau menganti Pancasila itu. Inilah yang menyebabkan terjadinya pertentangan-pertentangan antara partai-partai politik dan rakyat Indonesia satu sama lainya, sehingga konstituante pada akhirnya tidak melanjutkan sidang kembali karena memperoleh jalan buntu.
Di dalam UUDS hak-hak asasi manusia dimasukkan secara rinci seperti hak hidup, hak kemerdekaan, berbicara dan sebagainya dimasukkan secara rinci. Ini juga merupakan sebab setiap orang dapat membuat partai politik asal ada pendukung –pendukungnya. Jadi jumlah partai tidak terbatasi. Sehingga rakyat terbagi-bagi kedalam partai-partai politik yang satu dengan yang lainnya berbeda asa dan tujuannya. UUDS walaupun dasar negaranya Pancasila tetapi seolah-olah dan kenyataannya tidak mengikat terhadap dasar dan tujuan partai politik mengingat partai-partai politik sebagian besar tidak mendasarkan kepada Pancasilayaitu IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia). Pada waktu itu partai-partai politik mendasarkan kepada Islam, Kristen, Katolik, Nasionalisme, dan Komunisme.
Di sutu menunjukkan bahwa UUDS 1950 tidak mempunyai kekuatan supremasi dan mengikat terhadap seluruh warga negara. Hal ini disebabkan pengaruh demokrasi liberal barat terutama Belanda dan Perancis yang mengikuti sistem banyak partai dan pemilu sistem proporsional yang mendewa-dewakan terhadap revolusi Perancis dengan semboyan Egalite (Persamaan), Liberte (Kemerdekaan), dan Faternite (Persaudaraan). Sebagai akibat dari itu, maka terjadilah kekacauan-kekacauan politik yang disebabkan kurang terhayatinya makna yang terkandung didalam tiga semboyan tersebut, seolah-olah kemerdekaan individu itu tidak mengenal batas.[9]
Pada masa ini sering terjadi pergantian kabinet karena adanya mosi tidak percaya dari DPR. Pada waktu itu terdapat dewan konstituante yang bertugas membuat UUD baru untuk mengganti UUDS 1950. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 134 UUDS 1950 yang menyatakan bahwa Dewan Konstituante bersama-sama dengan pemerintah secepat-cepatnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS ini.
Dewan Konstituante mulai bersidang pada tahun 1955. Namun, dalam waktu dua tahun, Dewan Konstituante belum bisa menghasilkan undang-undang dasar yang baru. Melalui perdana Menteri Djuanda, pemerintah mengusulkan untuk kembali ke UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Namun, dalam menanggapi usul ini, Dewan Konstituante mengalami perbedaan pendapat. Kelompok pertama menerima kembali UUD 1945 secara utuh sebagaimana yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945, sedangkan kelompok kedua menerima UUD 1945 dengan amandemen, yaitu memasukkan sila kesatuan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Kemudian, untuk mengetahui diterima atau tidaknya usul untuk kembali ke UUD 1945 maka diselenggarakan pemungutan suara yang dilaksanakan secara berturut-turut pada hari sabtu 30 Mei 1959, Senin 1 Juni 1949, dan Selasa 2 Juni 1959.
Namun, pemungutan suara tersebut tidak berhasil mendapat dukungan suara yang diperlukan (minimal 2/3 jumlah anggota). Walaupun sebenarnya jumlah suara yang masuk lebih banyak menyetujui untuk kembali pada UUD 1945. Dewan Konstituante pun dianggap tidak mampu menjalankan tugasnya.
Untuk menghindari krisis pemerintahan, akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan presiden yang dikenal dengan Dekret Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekret Presiden tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Menetapkan Pembubaran Dewan Konstituante.
2.      Memberlakukan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950.
3.      Membentuk MPRS dan DPAS dalam waktu singkat.
Dengan demikian maka berlakulah kembali sistem pemerintahan menurut UUD 1945.[10]


D.    UUD 1945 Amandemen
Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden setelah terjadi gelombang unjuk rasa besar-besaran, yang motori oleh mahasisw, pemuda, dan berbagai komponen bangsa lainnya, baik di ibukota Jakarta maupun di daerah-daerah. Berhentinya Presiden Soeharto di tengah krisis ekonomi dan moneteryang sangat memberatkan kehidupan masyarakat Indonesia menjadi awal dimulainya era reformasi di tanah air.[11]
 Jabatan presiden pun diserahkan kepada Wakil Presiden B.J. Habibie, kemudian dibentuklah kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan. Pada masa pemerintahan ini, tuntutan rakyat semakin genjar dilakukan. Berbagai macam tuntutan tersebut antara lain sebagai berikut.:
1.      Amandemen UUD 1945.
2.      Penghapusan doktrin dwifungsi ABRI.
3.      Penegakan supremasi hukum, penghormatan HAM, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
4.      Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah.
5.      Mewujudkan kebebasan pers.
6.      Mewujudkan kehidupan demokrasi.
Untuk memenuhi tuntutan rakyat dilaksanakan Sidang Istimewa MPR pada tanggal 10 – 13 November 1998. Dan seperti yang diamanahkan dalam sidang tersebut, dihasilkan produk-produk hukum  sebagai berikut.
1.      UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
2.      UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu.
3.      UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
4.      UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
5.      UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
6.      UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Selain itu, diselenggarakanlah pemilu pada tanggal 7 Juni 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik. Kemudian, pada tanggal 1 – 4 Oktober dan 14 – 21 Oktober 1999, diselenggarakan Sidang Umum MPR, yang menghasilkan pemerintah baru yaitu Abdurrahman Wahud sebagai Presiden, dan Megawati Soekarnoputeri sebagai Wakil Presiden.
Pada masa pemerintahan ini, kabinet yang terbentuk diberi nama Kabinet Persatuan Indonesia. Selama menjalankan roda pemerintahan, pemerintah pun sering mendapat kritik dari masyarakat, bahkan dari para elite politik sekalipun, berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Akhirnya pada tanggal 23 Juli 2001, MPR mengadakan Sidang Istimewa. Hasil dari Sidang Istimewa tersebut, mandat Presiden Abdurrahman Wahid dicabut dan melalui Tap MPR No. III/MPR/2001, Wakil Presiden Megawati Soekarnoputeri diangkat menjadi Presiden RI kelima. Pemilihan untuk wakil presiden pun dilakukan, dan terpilihlah Hamzah Haz.
Kabinet bentukan Presiden Megawati Soekarnoputeri dinamakan Kabinet Gotong Royong. Tidak ubahnya dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, pada masa pemerintahan ini pun tetap mendapat kritikan dari berbagai kalangan. Namun, pada tahun 2004 emerintah berhasil menyelenggarakan pemilu demokrasi yang memilih secara langsung presiden dan wakil presiden.
Dalam pemilu tersebut, terpilih secara langsung presiden dan wakil presiden secara berpasangan, dan terpilihlah Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden dan M. Jusuf Kalla sebagai wakil presiden. Pelantikan dilakukan pada tanggal 20 Oktober 2004. Dan sejak saat itulah, rakyat menaruh harapan yang sangat besar kepada pemerintah agar penyelenggaraan pemerintah dapat berjalan secara terbuka, demokrasi, yang dapat mendengarkan dan melaksanakan aspirasi/kehendak seluruh rakyat.
Berdasarkan UUD 1945, sistem pemerintahan Republik Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) murni seperti ajaran Montesquieu, melainkan menganit pembagian kekuasaan (distribution of power). (dalam Noviana,dkk.hal.58).
Berikut ciri-ciri pokok sistem pemerintahan Republik Indonesia.
1.      Bentuk negara adalah kesatuan dengan prinsip otonomi yang luas.
2.      Wilayah negara terdiri dari 33 provinsi.
3.      Bentuk pemerintahan republik dengan sistem pemerintahan presidensial.
4.      Pemegang kekuasaan eksekutif adalah presiden yang menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Awalnya presiden dan wakil presiden dipilih dan diangkat oleh MPR dengan masa jabatan lima tahun. Namun, mulai pemilu tahun 2004, presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu paket secara langsung oleh rakyat, untuk masa jabatan yang sama.
5.      Kabinet/menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden, serta bertanggungjawab kepada presiden.
6.      Parlemen terdiri dari dua badan (bikameral), yaitu DPR dan DPD. Anggota DPR dan DPD adalah anggota MPR. DPR terdiri dari para wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu. Anggota DPD merupakan wakil tiap provinsi. Selain itu, terdapat pula DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang juga dipilih melalui pemilu. DPR mempunyai kekuasaan legislatif dan juga mengawasi jalannya pemerintahan.
7.      Kekuasaan Yudikatif dijalankan oleh MA dan badan peradilah dibawahnya, yaitu Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri serta sebuah Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
Dari ciri-ciri diatas dapat kita pahami bahwa setelah reformasi ada perubahan pada sistem pemerintahan Indonesia. Perubahan ini tentu berdampak positif bagi rakyat, terutama dengan adanya amandemen UUD 1945. Amandemen dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang makin kompleks dan juga perpolitikan yang makin berlembang.
Bisa dikatakan bahwa amandemen UUD 1945 telah menunjukan keberhasilan rakyat dalam menuntut reformasi. Meskipun sistem pemerintahan presidensial pasca amandemen, namun peran dan hubungan presiden dan DPR berubah. Peran lembaga-lembaga negara menjadi lebih proporsional dan kontrol terhadap kinerja pemerintah pun semangkin ketat.









Sumber :
Erlinda,Sri,S.Ip,M.Si. Sistem Politik Indonesia. Cendikia Insani. Pekanbaru. 2010.
Kansil,C.S.T.,Drs.,S.H. Latihan Ujian Hukum Tata Negara. Sinar Grafika. Jakarta. 1994
Joniarto,S.H. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Bumi Aksara. Jakarta. 1996
Rahmawati,Noviana. S.Pd, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA/MA XII. Viva Pakarindo. Klaten, Jawa Tengah.
Sekjen MPR RI. Panduan Pemasyarakatan UUD 1945 dan Ketetapan MPR RI. Jakarta. 2012
_________.Tiga UUD RI. Sinar Grafika. Jakarta. 2000.
Wikipedia. Sejarah Indonesia 1950-1959. 2014. Dikutip pada 10 April 2014



[1]  Dikutip Joeniarto,S.H, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, BumiAksara, 1996, hal. 17
[2]  Dikutip Drs.C.T.S. Kansil,S.H, Latihan Ujian Hukum Tata Negara, Sinar Grafika, 1994, hal. 201
[3]  Dikutip Noviana Rahmawati, dkk, Pendidikan Kwn untuk SMA/MA kelas XII, Viva Pakarindo, hal.54
[4]  Dikutip Drs.C.T.S. Kansil,S.H, Ibid, hal. 213
[5] Dikutip Redaksi Sinar Grafika, Tiga UUD RI, Sinar Grafika, 2000, hal. 54-70
[6]   Dikutip Noviana, dkk, ibid, hal.55
[7] Dikutip Drs.C.T.S. Kansil,S.H, Ibid, hal. 219-220
[8]  Dikutip Wikipedia, Sejarah Indonesia (1950-1959). 10/04/2014
[9]  Dikutip Sri Erlinda,S.Ip,M.Si, Sistem Politik Indonesia, Cendikia Insani,2010, hal. 94-95
[10]  Dikutip Noviana, dkk, ibid, hal.56
[11] Dikutip Sekjen MPR RI, Panduan Pemasyarakatan UUD 1945 dan TAP MPR RI, 2012, hal. 5

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda