Melayu (Riau) Melawan Babusa
Melayu
(Riau) Melawan Babusa
Oleh :
Solihin,S.Pd
Gambar
: Gugusan Pulau Nusantara; Melayu Riau
Orang Melayu mempunyai peradaban yang
tinggi dalam memilihara tatanan nilai budaya menyangkut aspek sosial ekonomi, politik,
agama, lingkungan, seni, teknologi, dan lain-lain. Nilai-nilai tersebut
terdapat dalam kearifan lokal orang Melayu. Ciri yang melekat dalam kearifan
lokal tersebut sifatnya dinamis, berkelanjutan, dan dapat diterima oleh
komunitasnya. Dalam komunitas masyarakat lokal, kearifan tradisional mewujud
dalam bentuk seperangkat aturan, pengetahuan dan juga keterampilan serta tata
nilai dan etika yang mengatur tatanan sosial komunitas yang terus hidup dan
berkembang dari generasi ke generasi. Sesuai dengan aturan adat, kearifan
tradisional merupakan sebuah sistem dalam tatanan kehidupan social politik-budaya-ekonomi
serta lingkungan yang hidup di tengah-tengah masyarakat lokal. Orang Melayu mempunyai konsep filosofi dalam
memilihara lingkungan ini yang dapat terlihat dalam ungkapan petatah petitih,
syair, pantun, hikayat, dan dalam qanun tanah adat.[1]
Kehidupan
orang tua-tua dahulu sangat erat kaitannya dengan Alam. Menyadari eratnya
kaitan antar kehidupan manusia dengan alam, menyebabkan orang Melayu berupaya memelihara
serta menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Dalam adat istiadat ditetapkan
“pantang larang” yang berkaitan dengan pemeliharaan serta pemanfaatan alam,
mulai dari hutan, tanah, laut dan selat, tokong dan pulau, suak dan sungai, tasik
dan danau, sampai kepada kawasan yang menjadi kampung halaman, dusun, ladang,
kebun, dan sebagainya.
Dalam
pandangan Tennas Effendy, orang tua-tua Melayu masa silam amat menyadari
pentingnya pemeliharaan dan pemanfaatan alam sekitar secara seimbang. Ketentuan
adat yang mereka pakai memiliki sanksi hukum yang berat terhadap perusak alam.
Sebab, perusak alam bukan saja merusak sumber ekonomi, tetapi juga membinasakan
sumber berbagai kegiatan budaya, pengobatan, dan lain-lain yang amat diperlukan
oleh masyarakat [2]
Orang tua-tua Melayu mengatakan bahwa kehidupan mereka amat
bergantung kepada alam. Alam
menjadi sumber nafkah dan juga menjadi sumber unsur-unsur budayanya. Dalam
ungkapan dikatakan:
Kalau
tidak ada laut
hampalah
perut
Bila
tak ada hutan
binasalah
badan
Dalam ungkapan lain dikatakan:
Kalau binasa hutan yang lebat
Rusak lembaga hilanglah adat [3]
Gambar : Ilustrasi Kegiatan budaya
Masyarakat Melayu
Ungkapan-ungkapan
di atas secara jelas menunjukkan harmonisasi hubungan antara orang Melayu
dengan alam sekitarnya. Kebenaran isi ungkapan ini secara jelas dapat dilihat
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Secara tradisional, mereka secara turun
temurun hidup dari hasil laut dan hasil hutan atau mengolah tanah. Secara turun
temurun pula mereka memanfaatkan hasil hutan untuk berbagai keperluan, membuat
bangunan, membuat alat dan kelengkapan rumah tangga, alat dan kelengkapan
nelayan, alat berburu, alat bertani, dan sebagainya, termasuk untuk ramuan obat
tradisional.
Banyak
ungkapan-ungkapan tunjuk ajar yang terdapat dalam kehidupan orang Melayu, baik
secara lisan maupun tertulis tentang
pemiliharan lingkungan. Ungkapan-ungkapan tersebut terpelihara dalam budaya dan struktur
masyarakat Melayu. Namun, nilai-nilai dan norma norma tersebut sebagian besar telah tercabut dari
kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan sistem kelembagaan adat melayu saat ini hanya menjadi simbol dan kamuflase
belaka. Budaya bepantun kini hanya digunakan pada saat perhelatan pernikahan di
kampung-kampung. Tunjuk ajar melayu dalam pergaulan, hubungan dengan pencipta
dan juga hubungan dengan alam sekitar bak hilang ditelan bumi. Kini pepatah
yang mengatakan “tak kan melayu hilang dibumi” seperti tinggal angan belaka. Pergerusan budaya yang seperti ini menjadi
sangat berdampak buruk di dunia pendidikan, sosial ekonomi maupun lingkungan.
Kalau
berbicara Riau maka tak terlepas dari Melayu. The Homeland of Melayu begitu
tujuan dari pemerintah daerah provinsi Riau. Mewujudkan pembangunan masyarakat
berbudaya, beriman dan bertaqwa. Tujuan ini agar masyarakat Riau tak tergerus
oleh budaya asing yang masuk ketengah-tengah budaya kita. Mengembalikan kembali
identitas budaya melayu yang kini kondisinya mulai tergerus budaya asing akibat
arus globalisasi yang semangkin kuat pengaruhnya di negeri ini. Salah satu
akibatnya ialah kekayaan alam yang ada di eksplorasi tanpa melihat
keberlanjutan ekosistemnya. Budaya haus akan harta, ketamakan sementara, menracuni pola pikir. Menghilangkan budaya melayu
menjaga keselarasan hidup bersama alam. Pepatah petitih, pantang larang melayu
tak digubris.
Mengakibatkan
Babusa ( Bencana Kabut Asap) bertengger betah di bumi melayu ini semenjak 18
tahun yang lalu. Mereka seolah tak ambil peduli dengan hukum adat yang berlaku.
Dua sinyalir penting yang dapat kita lihat dari kejadiaan ini. Pertama
masyarakat melayu yang mempunyai kebudayaan itu sendiri yang merusak akibat
tergoresnya budaya karena globalisasi. Yang kedua; para pendatang yang
berdatangan ke Riau yang membuka lahan secara besar-besaran untuk digunakan
sebagai tempat tinggal dan mencari nafkah dari hal ini.
Hutan yang ada
di Riau dulunya sangat luas akibat penjagaan oleh masyarakat hukum adat.
Masyarakat dahulu menyadari pentingnya ketergantungan dengan hasil alam. Mereka
jua pandai merawat dan menjaga hutan. Kini penebangan hutan yang merajalela telah
mengurangi luas hutan secara signifikan, dari 78% pada tahun 1982 menjadi hanya
33% pada 2005. Rata-rata 160,000 hektare hutan habis ditebang setiap
tahun, meninggalkan 22%, atau 2,45 juta hektare pada tahun 2009[4].
Wajar jika kebakaran hutan dan lahan yang ada di Riau mengakibatkan Babusa (Bencana
Kabut Asap). Delapan belas tahun lamanya masyarakat Riau menghadapi bencana
tersebut menghidupkan budaya baru yang mengakibatkan penyakit baru dan
persendatan ekonomi baru.
Gambar : Kebakaran lahan di salah satu
Desa di Kabupaten Bengkalis
Budaya
melayu yang ada diatas seharusnya dapat menjaga lingkungan sekitar. Petatah
petitih, pantang larang yang ada di tengah masyarakat jika diterapkan akan
memberikan efek jera. Namun arus globalisasi yang sangat deras mengakibatkan
tergerus secara perlahan budaya tersebut. Hingga kini, budaya melayu sangat
minim penghayatan dan pengamalannya. Budaya melayu tinggal sebutan di beberapa
upacara atau agenda tertentu. Sementara pengamalan dalam kehidupan sehari-hari
sudah hilang tergerus arus globalisasi.
Masyarakat
yang seharusnya sebagai ujung tombak menjaga lingkungan dan budaya kini hilang
akibat keegoisan masing-masing. Mereka sibuk mengurus urusan yang menguntungkan
pribadi daripada mementingkan urusan bersama. Menjaga dan melindungi hutan dari
keserakahan dan ketamakan sebagian manusia mereka tak sanggup. Praktek Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme menjadi factor utamanya. Kesewenangan Pemerintah yang asal
memberikan izin terhadap pihak swasta. Menjadikan masyarakat melayu kehilangan
jati diri. Mengakibatkan kerusakan hutan, terusaknya ekosistem yang
mengakibatkan bencana. Banjir ketika musim penghujan, kekeringan dan kebakaran
ketika musim kemarau.
Permasalan
ini menjadi Pekerjaan Rumah bersama diantara kita. Pemerintah (aparatur negara),
masyarakat dan pihak swasta. Tidak saling menyalahkan, mari bergotong royong
menjaga lingkungan. Jadikan kita peduli untuk menjaga lingkungan. Jadikan kita
peduli untuk menjaga dan melindungi hutan. Mari membudayakan budaya melayu
dalam segala aspek kehidupan. Menjadikan pepatah petitih yang ada untuk di
amalkan. Menjadikan pantang larang dan hukum adat ditaati bersama. Maka terwujudlah kehidupan yang berdampingan,
salaras dan serasi dengan alam.
Membudayakan melayu bagi masyarakat melayu dan Riau ini sebagai solusi
tuntas kebakaran hutan dan lahan yang ada di Riau. Menghilangkan Babusa
(Bencana Kabut Asap) di Riau. Saling menjaga dan melakukan pemeliharaan dan
pemanfaatan seperlunya. Sehingga keselarasan hidup manusia dan alam dapat
terjalin secara harmonis.
Gambar
: Hidup berdampingan dengan Alam
Tak perlu berserakan peraturan menjegah kebakaran
hutan dan lahan. Tak perlu menakuti masyarakat. Tak perlu memenjarakan
masyarakat yang bersalah. Usah menggunakan ratusan milyar uang untuk melakukan
pemadaman kebakaran. Cukup dengan membudayakan budaya melayu ditengah-tengah
masyarakat kita. Menerapkan petatah petitih, pantang larang, serta hukum adat.
Ciptakan sanksi sosial dan hukum adat yang tegas dan jelas. Hingga melayu itu sendiri yang melawan Babusa.